Diskriminasi Wanita Tidak Akan Berakhir

Dahulukan wanita, anak-anak, orang cacat, dan lansia
Himbauan seperti itu dapat kita temukan terpampang di dalam kendaraan-kendaraan  umum. Apakah itu menandakan bahwa di mata masyarakat wanita dapat disamakan dengan anak-anak, orang cacat, dan lansia? Dalam hal ini memang wanita yang diuntungkan, tapi lain halnya jika anggapan tersebut justru menghalangi wanita untuk berkembang.

Stereotipe, seperti dipaparkan oleh Lippman (1922), merupakan sebuah “gambaran di dalam kepala” (Whitley & Kite, 2010). Gambaran itu muncul di dalam pikiran seseorang tentang apa yang diyakini orang tersebut terhadap seseorang atau sekelompok orang lain berdasarkan penilaian atau pengalaman pribadi.

Seperti yang telah kita ketahui, sudah menjadi tradisi di belahan dunia manapun bahwa wanita selalu didahulukan daripada pria, karena itulah kita mengenal istilah “ladies first”. Istilah itu muncul karena adanya anggapan bahwa wanita adalah kaum yang lemah dan harus dilindungi (Bemmelen, 2002). Stereotipe inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya berbagai perlakuan-perlakuan ‘istimewa’ terhadap wanita. Sayangnya, terkadang perlakuan istimewa tersebut justru merugikan pihak wanita itu sendiri.

Stereotipe tersebut kemudian berkembang menjadi pemisahan atau dalam hal ini biasa disebut dengan diskriminasi. Di Indonesia khususnya, masyarakat masih meragukan kepemimpinan perempuan. Wajar saja, karena mayoritas orang Indonesia menganut agama Islam yang mengharuskan kaum laki-laki bertindak sebagai imam. 
                                                                                
Sejarah manusia memang menyebutkan bahwa kaum wanita, berasal dari Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal tersebut juga berperan dalam pembentukan anggapan bahwa wanita harus mengikuti kepemimpinan kaum laki-laki. Namun kaum Hawa pun tidak
dapat dipandang sebelah mata, karena bukankah keberadaan Hawa berperan besar dalam menghasilkan keturunan bagi Adam? Apalah yang dapat dilakukan sang Adam tanpa keberadaan Hawa.

Terlepas dari nilai-nilai agama dan sejarah manusia, alangkah baiknya jika kita juga melihat dari sisi perkembangan pola pikir manusia dari masa ke masa. Terutama pada masa ini, wanita tidak lagi menjadi kaum yang bodoh dan tertinggal. Wanita telah mampu mensejajarkan diri dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, organisasi, dan pekerjaan. Terutama setelah adanya konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita di Indonesia yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1984.

Apa salahnya jika wanita yang memimpin? Jika pada kenyataannya wanita dapat membuktikan dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Twenge (1997) berpendapat bahwa wanita pada zaman ini telah memiliki karakter yang lebih kuat dan menonjol bila dibandingkan dengan karakter wanita 20 tahun yang lalu (dalam Whitley & Kite, 2010). Meskipun begitu, tetap saja selalu ada situasi-situasi tertentu yang menghalangi wanita dalam berkompetisi dengan kaum laki-laki.

Sebagai salah satu contoh, jika dalam sebuah keluarga terdapat anak laki-laki dan anak perempuan, sedangkan keluarga tersebut hanya mampu membiayai satu orang anak untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, pastilah anak laki-laki yang terpilih. Alasannya, karena anak laki-laki kelak akan membentuk keluarga sendiri dan bertanggung jawab sebagai pencari nafkah. Sedangkan wanita tidak perlu repot-repot melanjutkan sekolah, karena toh jika sudah berkeluarga mereka dapat bergantung pada suami. Alasan yang dapat dimaklumi walaupun tidak terlalu logis, karena siapa yang dapat menjamin bahwa hal yang sebaliknya tidak akan terjadi?

Hal tersebut sekali lagi menimbulkan kebingungan bagi wanita. Bagaimana mereka harus menyikapi, sedangkan selalu ada alasan yang menghalangi walaupun tidak sesuai dengan logika. Hal-hal tersebut patut dipertimbangkan, namun dari sisi wanita justru menjadi sebuah keterbatasan yang dibuat-buat dan merugikan.

Istilah “konco wingking” atau “orang belakang” yang ditujukan pada kaum wanita adalah contoh lain diskriminasi yang terdapat dalam masyarakat Jawa tempo dulu. Wanita dianggap tidak perlu terlibat dalam hal apapun selain urusan dapur serta melayani suami dan anak-anak. Tapi apakah hal seperti itu masih wajar bila terjadi pada masa sekarang? Masa dimana wanita dituntut untuk turut ambil peran dalam mencari nafkah. Bahkan seringkali wanita terpaksa mengambil alih peran kepala keluarga seutuhnya. Seperti yang diutarakan oleh Aryani (2002) bahwa dari masa ke masa peran laki-laki dan perempuan dapat ditukar (dalam Wayan, 2010).

Dengan begitu akan lebih baik jika wanita diberi kesempatan yang sama, setidaknya dalam hal pendidikan, organisasi, dan pekerjaan. Untuk menghindari terjadinya diskriminasi, wanita harus mampu menunjukkan bahwa mereka memang patut disejajarkan. Selebihnya, baik wanita maupun laki-laki tentunya harus tetap menyadari kodrat masing masing selayaknya kodrat putra Adam dan Putri Hawa, karena tidak dapat dipungkiri bahwa Hawa pun memerlukan Adam dan sebaliknya.

Namun selama kita masih hidup di tengah-tengah masyarakat yang peduli dengan nilai-nilai dan norma-norma, diskriminasi akan selalu ada melihat dari kebiasaan atau pendapat yang telah mengakar sejak dahulu dan tidak mungkin diingkari. Sangat sulit bagi masyarakat untuk menghilangkan stereotipe terhadap laki-laki dan perempuan, yang terkadang terjadi tanpa disadari.

Jadi, walaupun pada masa ini wanita patut disejajarkan dengan laki-laki, tetap ada norma-norma dimana wanita tidak mungkin disamakan dengan laki-laki. Perlakuan terhadap keduanya juga tidak mungkin seutuhnya disamakan. Wanita harus tetap menyadari peranan pokok mereka dalam keluarga. Dengan demikian, wanita harus dapat menyesuakan diri di tengah masyarakat, dimana akan selalu ada istilah ladies first” dan terkadang bisa juga sebaliknya, “konco wingking”. 

2 komentar:

Anonim 11 Januari 2011 pukul 18.26  

wahh, kalau menurutku,
ungkapan ladies first itu bukanlah ungkapan yang mendiskriminasi, melainkan ungkapan yang menghormati dan memuliakan wanita.

bayangkan jika seorang laki-laki, misalkan dalam sebuah bis, dengan egoisnya tetap duduk padahal didepannya ada seorang wanita muda yang sedang hamil, apa yang ada dipikiran anda?

arlinbaracuda 13 Januari 2011 pukul 02.37  

Itu dia Niko,,
Kita liat dari sisi lain,,
Dalam tulisan ini, saya tidak menyebutkan bahwa ungkapan tersebut mendiskriminasi wanita..

Tapi dari situ kita bisa melihat bagaimana pandangan dunia, atau dalam hal ini, masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai kemampuan wanita..

Posting Komentar

About this blog.

Journal of a journey, knowing myself by reflecting the experience as a free educator and share the feelings and thoughts along the journey...