My Hobbies

I love to...


Drawing
Especially sketch, with black and white color only..

Or create a vignette,  it's a picture which shows someone in a situation, but the meaning is hidden..


I wish I could create some amazing paintings and someone will buy it... haha

Great Teacher

She isn't my teacher, but I could say that she was wonderful..
She was my master teacher in my last teaching experience.


She was sooo open minded and she let us teach her class with our own method

I wish I had an English teacher like her when I was in high school :)


Thank you and luv u Ma'am WES...

Diskriminasi Wanita Tidak Akan Berakhir

Dahulukan wanita, anak-anak, orang cacat, dan lansia
Himbauan seperti itu dapat kita temukan terpampang di dalam kendaraan-kendaraan  umum. Apakah itu menandakan bahwa di mata masyarakat wanita dapat disamakan dengan anak-anak, orang cacat, dan lansia? Dalam hal ini memang wanita yang diuntungkan, tapi lain halnya jika anggapan tersebut justru menghalangi wanita untuk berkembang.

Stereotipe, seperti dipaparkan oleh Lippman (1922), merupakan sebuah “gambaran di dalam kepala” (Whitley & Kite, 2010). Gambaran itu muncul di dalam pikiran seseorang tentang apa yang diyakini orang tersebut terhadap seseorang atau sekelompok orang lain berdasarkan penilaian atau pengalaman pribadi.

Seperti yang telah kita ketahui, sudah menjadi tradisi di belahan dunia manapun bahwa wanita selalu didahulukan daripada pria, karena itulah kita mengenal istilah “ladies first”. Istilah itu muncul karena adanya anggapan bahwa wanita adalah kaum yang lemah dan harus dilindungi (Bemmelen, 2002). Stereotipe inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya berbagai perlakuan-perlakuan ‘istimewa’ terhadap wanita. Sayangnya, terkadang perlakuan istimewa tersebut justru merugikan pihak wanita itu sendiri.

Stereotipe tersebut kemudian berkembang menjadi pemisahan atau dalam hal ini biasa disebut dengan diskriminasi. Di Indonesia khususnya, masyarakat masih meragukan kepemimpinan perempuan. Wajar saja, karena mayoritas orang Indonesia menganut agama Islam yang mengharuskan kaum laki-laki bertindak sebagai imam. 
                                                                                
Sejarah manusia memang menyebutkan bahwa kaum wanita, berasal dari Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam. Hal tersebut juga berperan dalam pembentukan anggapan bahwa wanita harus mengikuti kepemimpinan kaum laki-laki. Namun kaum Hawa pun tidak
dapat dipandang sebelah mata, karena bukankah keberadaan Hawa berperan besar dalam menghasilkan keturunan bagi Adam? Apalah yang dapat dilakukan sang Adam tanpa keberadaan Hawa.

Terlepas dari nilai-nilai agama dan sejarah manusia, alangkah baiknya jika kita juga melihat dari sisi perkembangan pola pikir manusia dari masa ke masa. Terutama pada masa ini, wanita tidak lagi menjadi kaum yang bodoh dan tertinggal. Wanita telah mampu mensejajarkan diri dengan laki-laki dalam bidang pendidikan, organisasi, dan pekerjaan. Terutama setelah adanya konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita di Indonesia yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1984.

Apa salahnya jika wanita yang memimpin? Jika pada kenyataannya wanita dapat membuktikan dan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Twenge (1997) berpendapat bahwa wanita pada zaman ini telah memiliki karakter yang lebih kuat dan menonjol bila dibandingkan dengan karakter wanita 20 tahun yang lalu (dalam Whitley & Kite, 2010). Meskipun begitu, tetap saja selalu ada situasi-situasi tertentu yang menghalangi wanita dalam berkompetisi dengan kaum laki-laki.

Sebagai salah satu contoh, jika dalam sebuah keluarga terdapat anak laki-laki dan anak perempuan, sedangkan keluarga tersebut hanya mampu membiayai satu orang anak untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, pastilah anak laki-laki yang terpilih. Alasannya, karena anak laki-laki kelak akan membentuk keluarga sendiri dan bertanggung jawab sebagai pencari nafkah. Sedangkan wanita tidak perlu repot-repot melanjutkan sekolah, karena toh jika sudah berkeluarga mereka dapat bergantung pada suami. Alasan yang dapat dimaklumi walaupun tidak terlalu logis, karena siapa yang dapat menjamin bahwa hal yang sebaliknya tidak akan terjadi?

Hal tersebut sekali lagi menimbulkan kebingungan bagi wanita. Bagaimana mereka harus menyikapi, sedangkan selalu ada alasan yang menghalangi walaupun tidak sesuai dengan logika. Hal-hal tersebut patut dipertimbangkan, namun dari sisi wanita justru menjadi sebuah keterbatasan yang dibuat-buat dan merugikan.

Istilah “konco wingking” atau “orang belakang” yang ditujukan pada kaum wanita adalah contoh lain diskriminasi yang terdapat dalam masyarakat Jawa tempo dulu. Wanita dianggap tidak perlu terlibat dalam hal apapun selain urusan dapur serta melayani suami dan anak-anak. Tapi apakah hal seperti itu masih wajar bila terjadi pada masa sekarang? Masa dimana wanita dituntut untuk turut ambil peran dalam mencari nafkah. Bahkan seringkali wanita terpaksa mengambil alih peran kepala keluarga seutuhnya. Seperti yang diutarakan oleh Aryani (2002) bahwa dari masa ke masa peran laki-laki dan perempuan dapat ditukar (dalam Wayan, 2010).

Dengan begitu akan lebih baik jika wanita diberi kesempatan yang sama, setidaknya dalam hal pendidikan, organisasi, dan pekerjaan. Untuk menghindari terjadinya diskriminasi, wanita harus mampu menunjukkan bahwa mereka memang patut disejajarkan. Selebihnya, baik wanita maupun laki-laki tentunya harus tetap menyadari kodrat masing masing selayaknya kodrat putra Adam dan Putri Hawa, karena tidak dapat dipungkiri bahwa Hawa pun memerlukan Adam dan sebaliknya.

Namun selama kita masih hidup di tengah-tengah masyarakat yang peduli dengan nilai-nilai dan norma-norma, diskriminasi akan selalu ada melihat dari kebiasaan atau pendapat yang telah mengakar sejak dahulu dan tidak mungkin diingkari. Sangat sulit bagi masyarakat untuk menghilangkan stereotipe terhadap laki-laki dan perempuan, yang terkadang terjadi tanpa disadari.

Jadi, walaupun pada masa ini wanita patut disejajarkan dengan laki-laki, tetap ada norma-norma dimana wanita tidak mungkin disamakan dengan laki-laki. Perlakuan terhadap keduanya juga tidak mungkin seutuhnya disamakan. Wanita harus tetap menyadari peranan pokok mereka dalam keluarga. Dengan demikian, wanita harus dapat menyesuakan diri di tengah masyarakat, dimana akan selalu ada istilah ladies first” dan terkadang bisa juga sebaliknya, “konco wingking”. 

Penghormatan Terhadap Sang Merah Putih

Ini adalah artikel opini yang saya buat untuk salah satu mata kuliah dan sangat ingin saya share dengan banyak orang... Saya memilih topik ini karena ketertarikan saya pada dunia PASKIBRA yang tidak hanya sekadar baris-berbaris....
            Bendera kebangsaan Indonesia merupakan secarik kain yang berwarna merah dan putih yang lebarnya dua pertiga dari panjangnya yang merupakan ukuran proporsional sehingga selembar kain yang berwarna merah putih tersebut dapat disebut bendera, dan berfungsi sebagai lambang citra manusia yang mengusungnya. Bendera merah putih memiliki sejarah panjang yang membedakan bendera negara Indonesia dengan bendera negara lain yang walaupun memiliki warna yang sama dengan bendera kebangsaan Indonesia dan dengan begitu, mampu mencitrakan mental bangsa Indonesia yang enerjik dan tidak mudah menyerah.
            Kedatangan bangsa Austronesia sekitar 6000 tahun lalu ke bumi Indonesia membawa tradisi penyembahan matahari yang disimbolkan dengan warna merah dan bulan dengan warna putih. Kemudian tubuh manusia yang pada masa itu dilambangkan oleh warna merah dan jiwa manusia yang dilambangkan dengan warna putih menjadikan warna merah dan putih. Warna-warna itu menjadi warna yang mampu menyimbolkan sumber-sumber kehidupan bagi bangsa Indonesia. Penggunaanya terus berlanjut  ke zaman kerajaan  hingga ke masa-masa perjuangan  menuju era kemerdekaan,  hanyalah potongan-potongan singkat perjalanan sejarah sang merah putih.
            Banyak hal-hal yang tidak kita ketahui mengenai sejarah panjang bendera. Karena itu, tidakkah sebaiknya generasi saat ini diperkenalkan dengan sejarah Bendera Merah Putih? Alih-alih siswa malah dijejali dengan sejarah perkembangan negara lain yang harus dikuasai secara mendetail? Karena untuk apa di sekolah diajarkan secara mendetail proses revolusi negara Perancis ataupun Inggris, yang hanya akan membebani anak-anak tanpa ada manfaat yang dapat diterapkan dalam jangka waktu lama dan hanya untuk diujikan sebagai syarat kelulusan. Sedangkan sejarah nasional Indonesia sendiri, termasuk di dalamnya sejarah Bendera Merah Putih yang sesungguhnya akan lebih berguna sebagai dasar yang merupakan tiang yang menyatukan bangsa Indonesia. Kita dapat melihat penghormatan macam apa selama ini kita berikan kepada sang kibaran dalam upacara pengibaran bendera yang rutin kita lakukan di sekolah. Hanya sekadar sikap menghormat ala PASKIBRA dengan pandangan kosong, bahkan mencibir saat diharuskan melakukan sikap menghormat terhadap bendera, sungguh miris. Bahkan berdasarkan pengalaman saya dengan salah satu guru saya sewaktu di SMA, ketika saya dan teman-teman bergegas hendak menurunkan bendera karena hujan, beliau mengejek dengan mengatakan “ngapain sih pake diturun-turunin segala, kayak jemuran aja..” Jujur dari dalam hati, saya dan teman-teman merasa kecewa dengan kata-kata itu, karena bila seorang guru yang seharusnya menjadi panutan, justru mengeluarkan kata-kata yang seharusnya tidak pantas diucapkan oleh seorang guru yang pada waktu itu mengisi mata pelajaran kewarganegaraan. Padahal pedoman dalam tata cara penggunaan bendera telah diatur dalam PP No.40 tahun 1958 yang menyebutkan bahwa bendera tidak diperbolehkan menyentuh tanah, air dan logam. Ketidaktahuan mengenai sejarah dan peraturan yang telah ditetapkan membuat si guru salah kaprah. Sebaliknya, jika sejak awal kita telah mengenal dan menyelami tentang sejarah bendera merah putih serta mempelajari aturan penggunaannya, akan lebih besar kemungkinan bagi kita untuk lebih menghargai kesakralan prosesi pengibaran mengingat perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan demi berkibarnya secarik kain sederhana berwarna merah dan putih polos itu.
            Pengenalan dan pengajaran Sejarah Bendera Merah Putih seharusnya dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Sang merah putih dan sejarah yang mengikutinya merupakan salah satu warisan kebanggaan bangsa, yang dalam usaha untuk memperoleh pengakuannya saja telah mengorbankan banyak nyawa yang seperti telah disebutkan dalam berbagai sumber sejarah. Seperti salah satunya peristiwa di Hotel Yamato, ketika merah putih berusaha dikibarkan oleh para pejuang pada masa itu yang dengan mempertaruhkan segala resiko. Prosesi pengibaran bendera hanyalah hal kecil yang dapat kita lakukan untuk meneruskan perjuangan mereka, karena bukankah bangsa yang mulia adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya? Masalah bagaimana membuat semua orang mengerti dan menerapkannya, kembali lagi kepada kesadaran tiap-tiap individunya, apakah itu akan berarti atau tidaknya bagi seseorang tentu tidak dapat dipaksakan, tetapi paling tidak sejarah merah putih telah diperkenalkan dan menghindarkan penggunaan yang tidak tepat oleh kita sebagai bangsa Indonesia sendiri.
            Bendera merah putih bukanlah sesuatu yang kita sembah, melainkan simbol yang melambangkan perjuangan. Hanya dengan perlakuan yang tepat terhadap sang kibaran, saja sudah cukup menyimbolkan penghormatan yang pantas kita berikan kepada para pejuang yang telah gugur, dan dengan begitu kita telah meninggalkan jejak yang dapat diikuti oleh generasi selanjutnya. Dengan memperlakukan bendera sesuai dengan ketentuan yang berlaku, secara tidak langsung kita telah mempertahankan salah satu fondasi dari pertahanan negara. Apalah arti sebuah negara yang tidak berada di bawah kibaran bendera yang pantas dipertahankan dan dihormati sebagai lambang kehormatan yang membuat kita dengan bangga mendongakkan kepala dan memberi penghormatan yang sudah sepantasnya diberikan.





Arti Nama


Telah berkali-kali saya bertanya kepada orang tua saya mengenai arti nama saya, bahkan jauh sebelum Ibu Nisa memberi tugas mengenai arti nama. Sayangnya berkali-kali itu pulalah ibu saya menjawab bahwa nama saya tidak memiliki arti apa-apa karena beliau hanya asal mencomot sebuah nama yang menurutnya enak didengar.  Setelah saya mengatakan pada Ibu saya bahwa saya harus mencari tahu mengenai nama saya dikarenakan tugas yang mendesak, barulah beliau berkenan untuk memberikan jawaban.

Beliau mengatakan bahwa ide dalam memberikan sebuah nama depan bagi saya bermula ketika beliau bertemu dengan kerabat jauhnya yang cantik dan imut. Karena itu beliau memberi nama depan yang serupa bagi saya dengan harapan bahwa saya akan menjelma menjadi wanita yang secantik dan seimut kerabatnya itu.

Beruntunglah saya, karena dilahirkan di zaman ketika seseorang telah menemukan google. Melalui google itulah saya berhasil menemukan arti nama depan saya. Nama depan saya sesungguhnya adalah nama yang diperuntukkan bagi anak laki-laki, disebutkan pulalah artinya yang berasal dari bahasa Gaelith, yaitu oath atau pledge, yang dalam bahasa Indonesia berarti janji atau sumpah.

Sedangkan nama belakang saya, rupanya memang tak ada niatan lain bagi ibu saya selain berharap bahwa putrinya ini kelak akan tumbuh sebagai gadis tulen yang gerak-geriknya mencerminkan pribadi yang dapat disimbolkan dengan karakter bunga yang gemulai.

Pengaruh nama bagi prilaku saya? Benarlah apa yang dikatakan orang selama ini, bahwa dalam setiap nama terselip doa. Saya selalu berusaha untuk memenuhi kata-kata atau janji saya, seperti halnya arti dari nama depan saya. Sedangkan untuk nama belakang saya, rupanya Tuhan berkata lain, mungkin Ia berkehendak untuk mengajarkan kedua orang tua saya bahwa tidak semua yang kita harapkan bisa kita dapatkan.

Tidak ada sama sekali keinginan dari saya untuk mengganti nama, karena menurut saya bukan nama yang membentuk seseorang. Justru sebaliknya, apa yang dilakukan orang itulah yang membuat namanya,, ketika disebut memberi arti tertentu bagi orang lain.

Multiple Intelligences

           Last week Pak Iwan gave us a Multiple Intelligences indicator test. We answer the questions on the test based on our personal thought about our own behaviors. Pak Iwan told us to count our score, and find what our type is from the eight multiple intelligence types. When he asked us about who get the highest score in bodily-kinesthetic intelligence, I was the only one who raised hand. I also got the spatial intelligence as the second highest score, and interpersonal intelligence as the third.
            I think the test result is very suit me, because I always like to move in every activity, even sometimes my friends told me to stop move and sit calmly. I like to play a role and get bored when I study without any body movement in the classroom activity.
I am also exited if I have to draw something and I can make a formula in symbols to reflect my idea. It is probably the reason why I got high score in spatial intelligence.
I am very lucky because I have extra point in interpersonal intelligence. It means that I can adjust when I work in a group. I always like a group work, because it helps me a lot to do assignments if I share ideas with my friends. Sometimes it is hard for me to start to do an assignment because I get a lack of idea and I need someone else to start first and then I can get in and share my idea. I feel that group work can be more fun and effective because we can combine our different intelligences. I realized that when my friends and I had collaboration in a project, it always give me inspiration to use our collaboration ideas when I become a teacher someday.


Shared link
http://kids.lovetoknow.com/wiki/Multiple_Intelligence_Test_for_Children

About this blog.

Journal of a journey, knowing myself by reflecting the experience as a free educator and share the feelings and thoughts along the journey...